Kisah Membangun

Kisah Bruno dan Pablo, Si Ember dan Si Pipa 

Di suatu lembah di Italy, ada 2 orang sahabat bernama Bruno dan Pablo. Kedua anak muda itu merupakan orang-orang yang berkualitas. Keduanya memiliki cita-cita yang tinggi dan ingin menjadi kaya suatu hari kelak. Saat ini yang mereka tunggu adalah datangnya kesempatan emas. Pada suatu hari, kesempatan emas yang ditunggu-tunggu datang. Kepala desa memberi pekerjaan kepada 2 pemuda itu untuk mengangkut air dari danau ke desanya untuk memenuhi kebutuhan air warga desa. Keduanya pergi membawa masing-masing 2 ember untuk mengambil air dari danau untuk dibawa ke desa mereka. Untuk setiap ember yang terisi penuh, kedua pemuda ini menerima bayaran 1 sen. Jadi, kalau satu hari bisa mengangkut 20 ember, berarti mereka akan memperoleh penghasilan 20 sen. Bruno merasa sangat senang karena cita-citanya telah tercapai dan sebentar lagi dia akan menjadi orang kaya di desanya. Tetapi Pablo tidak demikian. Punggungnya nyeri dan kedua telapak tangannya lecet-lecet. Dia mulai berpikir bagaimana caranya memindahkan air dari danau ke desanya tanpa mengangkat-ngangkat ember. Idenya adalah membuat “saluran pipa”. Besoknya Pablo mengutarakan idenya itu kepada temannya, Bruno.

Mendengar temannya punya ide aneh tersebut, Bruno tersentak, “saluran pipa? Ide dari mana itu? Kita kan sudah mempunyai pekerjaan yang bagus. Saya bisa membawa seratus ember sehari, itu berarti 100 sen (sudah bisa untuk hidup tenang di desanya). Pada akhir minggu saya bisa membeli sepatu baru, pada akhir bulan saya bisa membeli seekor sapi. Pada akhir tahun saya sudah mampu membangun rumah. Kita juga punya hak cuti 2 minggu per tahun. Jadi buang jauh-jauh ide membangun saluran pipa itu.” Tapi Pablo tidak mudah putus asa. Ia memutuskan untuk bekerja paruh waktu. Setengah hari dia mengangkut ember untuk mendapatkan penghasilan untuk membiayai hidupnya sehari-hari, setengahnya dia manfaatkan untuk menggali tanah guna membuat saluran pipa ke desanya. Dari awal Pablo sudah menyadari bahwa akan sangat sulit baginya untuk menggali saluran di tanah yang banyak batu karang, dengan kontur tanah naik turun. Pablo sangat sadar, dibutuhkan waktu yang lama, mungkin 3 atau 4 tahun, untuk bisa mewujudkan impiannya itu. Namun dia sudah bisa membayangkan hasilnya, jika kelak saluran pipanya sudah selesai.

Bruno dan warga desanya mengejek Pablo yang berpenghasilan sedikit karena sibuk menggali tanah untuk membuat saluran pipa. Bruno yang berpenghasilan hampir dua kalinya membanggakan dirinya dan barang-barang yang baru dibelinya dari hasil keringatnya. Baju-baju indah dan rumah 2 lantai yang baru dibangunnya. Untuk menunjang gaya hidupnya, Bruno juga membeli alat angkut yang mewah pada zamannya, yaitu seekor keledai yang diberi sepatu besi untuk membawanya keliling desa (kalau zaman sekarang mobil sedan). Hari berganti bulan. Pada suatu hari, Pablo sudah menyelesaikan setengah dari saluran pipanya. Pablo menyaksikan Bruno yang terus saja mengangkut ember-ember berisi penuh air. Bahu Bruno tampak makin membungkuk oleh beban ember berisi air. Langkahnya semakin lamban akibat kerja keras setiap hari dan punggungnya mulai nyeri. Bruno merasa kecewa dan sedih karena mulai menyadari bahwa takdirnya mengatakan bahwa dia harus mengangkut ember sepanjang sisa hidupnya, setiap hari.

Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu Pablo tiba. Saluran pipa yang dibangun bertahun-tahun sudah selesai dan siap mengalirkan air dari danau ke desanya. Sekarang desa itu mendapatkan pasokan air bersih dengan lancar. Warga desa lain mulai pindah ke desa tempat tinggal Pablo agar bisa menikmati kelimpahan air bersih tersebut. Desa itu pun menjadi makmur dan subur karena tidak lagi kesulitan air. Kini Pablo tidak lagi mengangkut air memakai ember. Airnya akan terus mengalir, baik dia sedang tidur atau sedang terjaga, baik sedang liburan atau sedang makan di kedai kesukaannya. Semakin banyak air mengalir ke desanya, semakin banyak uang yang mengalir ke kantongnya. Ternyata saluran pipa Pablo membuat Bruno kehilangan pekerjaan. Orang di desa tidak lagi membeli air dari Bruno. Mendengar keadaan tersebut, Pablo sangat prihatin dengan nasib sahabatnya yang mulai mengemis-ngemis hanya untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Pablo mencoba mendatangi Bruno untuk membantunya. Tapi Bruno sudah sulit merubah pandangan hidupnya (mind set-nya). Bagi Bruno, mencari uang berarti memikul ember, tidak ada cara lain yang lebih baik atau lebih aman selain memikul ember. Sejak kecil waktu masih sekolah dia sudah diajarkan cara mencari uang dengan mengangkut ember, akibatnya cara alternatif memindahkan air dengan membangun saluran pipa, tidak pernah ada dalam pikirannya.

Pelajaran yang bisa dipetik :

1. Bruno masuk dalam perangkap jebakan barter waktu/tenaga dengan uang/upah (tidak ada ember yang diangkut berarti tidak ada uang yang didapat, ini adalah cara berpikir mayoritas orang).

2. Apa yang terjadi kalau karena sesuatu hal (Sakit, PHK, Pensiun) kita tidak punya waktu atau tenaga untuk membawa ember untuk ditukar dengan gaji/upah? Maka kita tidak akan punya uang lagi.

3. Saluran pipa = saluran uang = saluran kehidupan (bisa mengalirkan uang tanpa perlu bekerja lagi, tanpa berkeringat, bahkan pada saat anda sedang tidur). Mungkinkah? Mind set atau pola pikir inilah yang membedakan nasib Bruno dengan Pablo. Siapakah yang ingin anda tiru? Si Bruno ataukah si cerdik Pablo?

4. Bacalah cerita pendek ini berkali-kali hingga benar-benar meresap di hati anda. Setiap ada orang menawarkan suatu peluang usaha, bukalah pikiran anda, ujilah dengan cerita di atas, apakah masuk kategori saluran pipa atau mengangkat ember.

Marilah kita menjadi manusia pembuat saluran air, kerja keras saat ini untuk menikmati hasilnya nanti mungkin 1,2 atau 3 tahun lagi. Segeralah gabung di bisnis ini, jangan sia-siakan kesempatan anda sekarang juga!!

Sumber: http://cantikdgoriflame.multiply.com/journal?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal

Diposkan oleh WulanDhani 


KISAH WORTEL, TELUR DAN KOPI

Seorang anak mengeluh pada ayahnya mengenai kehidupannya dan menanyakan mengapa hidup ini terasa begitu berat baginya. Ia tidak tahu bagaimana menghadapinya dan hampir menyerah. Ia sudah lelah untuk berjuang. Sepertinya setiap kali satu masalah selesai, timbul masalah baru.

Ayahnya, seorang koki, membawanya ke dapur. Ia mengisi 3 panci dengan air dan menaruhnya di atas api.

Setelah air di panci-panci tersebut mendidih. Ia menaruh wortel di dalam panci pertama, telur di panci kedua dan ia menaruh kopi bubuk di panci terakhir. Ia membiarkannya mendidih tanpa berkata-kata.

Si anak membungkam dan menunggu dengan tidak sabar, memikirkan apa yang sedang dikerjakan sang ayah.

Setelah 20 menit, sang ayah mematikan api.

Ia menyisihkan wortel dan menaruhnya di mangkuk, mengangkat telur dan meletakkannya di mangkuk yang lain, dan menuangkan kopi di mangkuk lainnya.

Lalu ia bertanya kepada anaknya, “Apa yang kau lihat, nak?”"Wortel, telur, dan kopi” jawab si anak.

Ayahnya mengajaknya mendekat dan memintanya merasakan wortel itu. Ia melakukannya dan merasakan bahwa wortel itu terasa lunak. Ayahnya lalu memintanya mengambil telur dan memecahkannya. Setelah membuang kulitnya, ia mendapati sebuah telur rebus yang mengeras.

Terakhir, ayahnya memintanya untuk mencicipi kopi. Ia tersenyum ketika mencicipi kopi dengan aromanya yang khas. Setelah itu, si anak bertanya, “Apa arti semua ini, Ayah?”

Ayahnya menerangkan bahwa ketiganya telah menghadapi ‘kesulitan’ yang sama, melalui proses perebusan, tetapi masing-masing menunjukkan reaksi yang berbeda.

Wortel sebelum direbus kuat, keras dan sukar dipatahkan. Tetapi setelah direbus, wortel menjadi lembut dan lunak.

Telur sebelumnya mudah pecah. Cangkang tipisnya melindungi isinya yang berupa cairan. Tetapi setelah direbus, isinya menjadi keras. Bubuk kopi mengalami perubahan yang unik. Setelah berada di dalam rebusan air, bubuk kopi merubah air tersebut.

“Kamu termasuk yang mana?,” tanya ayahnya. “Ketika kesulitan mendatangimu, bagaimana kau menghadapinya? Apakah kamu wortel, telur atau kopi?” Bagaimana dengan kamu? Apakah kamu adalah wortel yang kelihatannya keras, tapi dengan adanya penderitaan dan kesulitan, kamu menyerah, menjadi lunak dan kehilangan kekuatanmu.”

“Apakah kamu adalah telur, yang awalnya memiliki hati lembut? Dengan jiwa yang dinamis, namun setelah adanya kematian, patah hati, perceraian atau pemecatan maka hatimu menjadi keras dan kaku.

Dari luar kelihatan sama, tetapi apakah kamu menjadi pahit dan keras dengan jiwa dan hati yang kaku?.”

“Ataukah kamu adalah bubuk kopi? Bubuk kopi merubah air panas, sesuatu yang menimbulkan kesakitan, untuk mencapai rasanya yang maksimal pada suhu 100 derajat Celcius. Ketika air mencapai suhu terpanas, kopi terasa semakin nikmat.”

“Jika kamu seperti bubuk kopi, ketika keadaan menjadi semakin buruk, kamu akan menjadi semakin baik dan membuat keadaan di sekitarmu juga membaik.”

“Ada raksasa dalam setiap orang dan tidak ada sesuatupun yang mampu menahan raksasa itu kecuali raksasa itu menahan dirinya sendiri”

https://www.facebook.com/note.php?note_id=248367611862353
Continue Reading
 

Bisnis Wulan Copyright © 2009 Community is Designed by Bie Blogger Template